BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Perkawinan merupakan suatu ikatan
yang sangat dalam dan kuatsebagai penghubung antara seorang pria dengan seorang
wanita dalammembentuk suatu keluarga atau rumah tangga. Dalam membentuk
suatu keluarga tentunya memerlukan suatu komitmen yang kuat diantara pasangan
tersebut. Sehingga dalam hal ini Undang-undang Perkawinan No.1 tahun 1974 pada
pasal 2 ayat 1menyatakan bahwa suatu perkawinan dapat dinyatakan sah,
apabiladilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaanpasangan yang melakukan pernikahan.Landasan
hukum agama dalam melaksanakan sebuah perkawinanmerupakan hal yang sangat
penting dalam UU No. 1 Tahun 1974, sehinggapenentuan boleh tidaknya perkawinan
tergantung pada ketentuan agama.Hal ini berarti juga bahwa hukum agama
menyatakan perkawinan tidak boleh,maka tidak boleh pula menurut hukum negara.
Jadi dalam perkawinanberbeda agama yang menjadi boleh tidaknya tergantung pada
ketentuanagama.Perkawinan beda agama bagi masing-masing pihak menyangkutakidah
dan hukum yang sangat penting bagi seseorang. Hal ini berartimenyebabkan
tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara
pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukumagamanya masing-masing.
1.2
Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian perkawinan
beda agama ?
2. UU yang mengatur
tentang perkawinan .
3. Bagaimana kedudukan anak dalam
keluarga menurut UU ?
4. Bagaima hukum
perkawanina beda agama dalam al-qur’an ?
5. Apa dampak perkawinan
beda agama bagi anak ?
6. Kedudukan anak maupun
orang tua pada saat anak akan menikah
7. Pembagian harta
gonogini pada perceraian orang tua.
8. Kedudukan harta
warisan bagi anak .
1.3 Tujuan
Penulisan
1.
Mengetahui pengertian perkawinan
beda agama.
2.
Mengetahui tentang UU perkawinan.
3.
Mengetahui kedudukan anak dalam keluarga menurut UU.
4.
Mengetahui hukum islam dalam perkawinan beda agama.
5.
Dapat mengetahui dampak perkawinan beda agama bagi
anak.
6.
Mengetahui kedudukan anak maupun
orang tua pada saat anak akan menikah.
7. Mengetahui pembagian harta gonogini pada perceraian
orang tua.
8.
Mengetahui kedudukan harta warisan bagi anak.
BAB II
Pembahasan
Dampak Perkawinan Beda Agama Bagi
Perkembangan Mental Anak
2.1
LANDASAN YURIDIS
A.
Pengetian Perkawinan Beda Agama
Pernikahan antara dua individu yang memeluk agama
berbeda disebut dengan interfaith marriage,
mixed marriage, mixed faith marriage , atau interreligious marriage.
(Robinson,
2005). Dalam bahasa Indonesia, peneliti akan menggunakan istilah pernikahan
beda agama.
Menurut Mandra & Artadi (dalam Eoh,1996),
pernikahan beda agama adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita, yang masing-masing berbeda agamanya dan mempertahankan perbedaannya itu
sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan
kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.
Menurut beberapa ahli, masalah - masalah yang
muncul akibat dari perbedaan agama dengan pasangan dalam pernikahan beda agama
antara lain, yaitu (dalam Paramitha,
2002): Latar belakang agama,
hubungan dengan keluarga, pelaksanaan ibadah, seksualitas, kehidupan sehari -
hari, menghadapi masalah sulit, dan anak.
Menurut pasal 1 UU No. 1/1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorangwanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumahtangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan di dalam ketentuan pasal-pasal KUHPerdata, tidakmemberikan pengertian perkawinan itu. Oleh karena itu untuk memahami artiperkawinan dapat dilihat pada ilmu pengetahuan atau pendapat para sarjana.Ali Afandi mengatakan bahwa “perkawinan adalah suatu persetujuankekeluargaan”.
Dan menurut Scholten perkawinan adalah ”hubungan hukumantara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengankekal, yang diakui oleh negara”.
JadiKitabUndang-undangHukum Perdata memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata.
Hal ini berarti bahwaundang-undang hanya mengakui perkawinan perdata sebagai perkawinanyang sah, berarti perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan
B.
UU Tentang Perkawinan
Di Indonesia tidak ada undang –
undang yang mengatur tentang perkawinan beda agama. Namun yang diatur dalam
undang – undang yaitu tentang perkawinan.
Dengan diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1974 berarti undang-undang ini merupakan
Undang-undang Perkawinan Nasional karena menampung prinsip-prinsip perkawinan
yang sudah ada sebelumnya dan diberlakukanbagi seluruh warga negara
Indonesia. .Dalam pasal 66 UU No 1
Tahun 1974 dinyatakan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan
yang diatur dalamKUHP perdata, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan
peraturanperkawinan campuran, dinyatakan tidak
berlaku sepanjang telah diatur dalamUndang-Undang Perkawinan Nasional ini. Dengan demikian dasar hukum
perkawinan di Indonesia yang berlaku sekarang
ini antara lain adalah :a.Buku I KUH Perdatab.UU No. 1/1974
tentang Perkawinanc.UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama. PP No. 9/1975
tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 1/1974.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 1974
TENTANG
PERKAWINAN
NOMOR 1 TAHUN 1974
TENTANG
PERKAWINAN
Menimbang :
bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita
untuk pembinaan hukum nasional, perlu adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang
berlaku bagi semua warga negara.
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1),
Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Nomor IV/MPR/1973.
Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia.
MEMUTUSKAN :
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PERKAWINAN.
BAB I
DASAR PERKAWINAN
Pasal 1
DASAR PERKAWINAN
Pasal 1
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Mahaesa.
Pasal 2
(1). Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 3
(1) Pada azasnya dalam suatu
perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita
hanya boleh mempunyai seorang suami.
(2) Pengadilan, dapat memberi izin
kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki
oleh fihak-fihak yang bersangkutan.
Pasal 4
(1) Dalam hal seorang suami akan
beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2)
Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di
daerah tempat tinggalnya.
(2) Pengadilan dimaksud data ayat
(1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri
lebih dari seorang apabila:
- isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
- isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
- isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 5
(1) Untuk dapat mengajukan
permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
- adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
- adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
- adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
(2) Persetujuan yang dimaksud pada
ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila
isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat
menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya
selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang
perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.
Pasal 6
(1)
Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
(2) Untuk
melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun
harus mendapat izin kedua orang tua.
(3) Dalam
hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan
tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup
diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu
menyatakan kehendaknya.
(4) Dalam
hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk
menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara
atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas
selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
(5) Dalam
hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3)
dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak
menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang
yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat
memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat
(2), (3) dan (4) pasal ini.
(6)
Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan
tidak menentukan lain.
Pasal 7
(1)
Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan
belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
(2) Dalam
hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada
Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria
maupun pihak wanita.
(3)
Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua
tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam
hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi
yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).
C.
Kedudukan Anak Dalam Keluarga
Menurut UUD
Kedudukan hukum anak yang lahir dari pasangan pernikahan
beda agama ini, kita merujuk pada ketentuan Pasal 42 UUP yang
menyebutkan bahwa anak yang sah adalah
anak yang dilahirkan dalam
atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Jadi, anak yang dilahirkan
dari perkawinan yang sah yang dilakukan baik di Kantor Urusan Agama (untuk
pasangan yang beragama Islam) maupun Kantor Catatan Sipil (untuk pasangan yang
beragama selain Islam), maka kedudukan anak tersebut adalah anak yang sah di
mata hukum dan memiliki hak dan kewajiban anak dan orang tua seperti tertuang
dalam Pasal 45 s.d. Pasal 49 UUP.
Selain itu, orang tua yang berbeda agama juga perlu
memperhatikan ketentuan Pasal 42 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
(“UUPA”) yang berbunyi:
(1) Setiap
anak mendapat perlindungan untuk beribadah menurut agamanya.
(2) Sebelum
anak dapat menentukan pilihannya, agama yang dipeluk anak mengikuti agama orang
tuanya.
Di dalam penjelasan Pasal 42 ayat (2) UUPA diterangkan bahwa anak dapat menentukan agama pilihannya apabila anak tersebut telah berakal dan bertanggung jawab, serta memenuhi syarat dan tata cara sesuai dengan ketentuan agama yang dipilihnya, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Fatwa MUI melarang perkawinan beda
agama. Pada
prinsipnya, bukan hanya agama Islam. Semua agama tidak memperbolehkan
perkawinan beda agama. Umatnya saja yang mencari-cari peluang. Perkawinannya
dianggap tidak sah, dianggap tidak ada perkwianan, tidak ada waris, anaknya
juga ikut hubungan hukum dengan ibunya. Meskipun UU tidak memperbolehkan kawin
beda agama, tetapi Kantor Catatan Sipil bisa menerima pencatatan perkawinan
beda agama yang dilakukan di luar negeri. Pemerintah tdak tegas, seharusnya
yang dicatat KCS adalah sesuai dengan hukum Indonesia.
Harapan akan lahirnya keluarga sakinah akan sulit
dicapai pasangan suami-istri yang berbeda agama, bagaimana mendidik anak-anak
mereka. Seorang anak akan kebingungan untuk mengikuti ayahnya atau ibunya.
Perkawinan baru akan langgeng dan tenteram jika terdapat kesesuaian pandangan
hidup antar suami dan istri, karena jangankan perbedaan agama, perbedaan
budaya, atau bahkan perbedaan tingkat pendidikan antara suami dan istri pun
tidak jarang mengakibatkan kegagalan perkawinan.
Status Anak
Luar Nikah
Mengenai status anak luar nikah, para ulama sepakat
bahwa anak itu tetap punya hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Tanggung jawab atas segala keperluannya, baik materiil maupun spirituil adalah
ibunya dan keluarga ibunya. Demikian pulanya dengan hak waris-mewaris.
Anak yang dibuahi dan dilahirkan diluar pernikahan
yang sah atau nikah fasad, disamakan statusnya dengan anak zina dan anak
li‟an. Oleh karena itu tidak ada hubungan nasab dengan bapaknya. Anak
itu hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya. Bapaknya tidak wajib
memebrikan nafkah kepada anak itu, namun secara biologis ia tetap anaknya.
Tidak ada saling mewaris dengan bapaknya, karena hubungan nasab merupakan salah
satu penyebab kerwarisan. Dan bapak tidak dapat menjadi wali bagi anak diluar
nikah.
Hubungan yang timbul hanyalah secara manusiawi, bukan
secara hukum. Meskipun demikian apabila anak diluar nikah itu seorang perempuan
dan sudah dewasa lalu akan menikah, maka ia tidak berhak dinikahkan oleh bapak
biologisnya.
Menurut hukum Perkawinan Nasional Indonesia, status
anak dibedakan menjadi dua: pertama, anak sah. kedua, anak luar nikah. Anak sah
sebagaimana yang dinyatakan UU No. Tahun 1974 pasal 42 adalah dalam anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
Yang dimaksud dengan anak luar nikah adalah anak yang
dibuahi dan dilahirkan di luar pernikahan yang sah, sebagaimana yang dsebutkan
dalam peraturan perundang-undangan Nasional UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 43 ayat
1, menyatakan anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Bila dicermati
dari peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia tentang Hukum
Perkawinan, menyatakan bahwa status nasab anak di luar nikah hanya mempunyai
hubungan keperdataan kepada ibunya dan keluarga ibunya. Implementasinya adalah
bahwa anak di luar nikah hanya memiliki hubungan yang menimbulkan adanya hak
dan kewajiban dengan ibu dan kelaurga ibunya. Mafhum mukhalafahnya adalah anak
itu tidak mempunyai hubungan keperdataan dengan bapak biologisnya dalam nasab,
hak dan kewajiban baik dalam bentuk nafkah, waris dan lain sebagainya. Hampir
tidak ada perbedaan antara hukuk Islam dengan hukum perkawinan Nasional dalam
menetapkan nasab anak di luar nikah, walaupun tidak menyatakan secara tegas.
Baru-baru ini UU No 1 th 1974 pasal 43 ayat (1)
dijudicial review oleh Macicha Mokhtar, sehingga keluarlah putusan Mahkamah
Konstitusi pada tanggal 17 Pebruari 2012 menjadi: Anak yang dilahirkan di luar
perkawinan mempunyai hubungan pedata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta
dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai
hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan ayahnya.
Yang dimaksud anak di luar nikah disini adalah anak
yang lahir melalui pernikahan tetapi belum diakui negara karena tidak
dicatatkan, seperti nikah siri. Memang secara hukum, tidak ada istilah anak
hasil hubungan zina, yang ada hanya anak di luar nikah. Tetapi anak hasil zina
disini adalah anak tanpa nikah sehingga tidak tergolong anak luar nikah seperti
yang dimaksudkan putusan MK tersebut.
Argumentasi yang melandasi keputusan ini antara lain
bahwa setiap anak adalah tetap anak dari kedua orang tuanya, terlepas apakah
dia lahir dalam perkawinan yang sah atau di luar itu dan bahwasanya dia berhak
memperoleh layanan dan tanggung jawab yang sama dalam perwalian, pemeliharaan,
pengawasan dan pengangkatan anak tanpa diskriminasi. Hal ini sesuai dengan UU
N0 12 tahun 2006 tentang Kewargannegaraan yang menyangkut hak asasi manusia
(HAM).
D.
Hukum
Perkawinan Beda Agama Dalam Al-Qur’an
Pernikahan merupakan salah satu
jenis ibadah dalam Islam. Setiap manusia yang telah dewasa, dan sehat jasmani
rohani pasti membutuhkan teman hidup. Teman hidup yang dapat memenuhi
kebutuhan biologisnya, yang dapat mencintai dan dicintai, yang dapat mengasihi
dan dikasihi, serta yang diajak bekerja sama demi mewujudkan ketentraman,
kedamaian dan kesejahteraan dalam hidup berumah tangga.
Menurut bahasa, nikah berarti
berkumpul atau bersatu. Menurut istilah, nikah adalah melakukan suatu akad atau
perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan serta menghalalkan hubungan tubuh antara keduanya atas dasar sukarela
dan persetujuan bersama demi mewujudkan keluarga bahagia yang diridhai oleh
Allah SWT.
Masalah pernikahan berbeda keyakinan ini
sebenarnya terbagi dalam 2 kasus keadaan, antara lain:
Kasus 1: Pernikahan antara laki-laki non-muslim dengan wanita
muslimKasus 2: Pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita non-muslim
Pada kasus 1, kedua pihak ulama sepakat untuk mengharamkan pernikahan yang terjadi pada keadaan seperti itu. Seorang wanita muslim haram hukumnya dan pernikahannya tidak sah bila menikah dengan laki-laki non-muslim. Al-Quran menjelaskan Dalam surat Al-Baqarah ayat 221:
ولا تنكحوا المشركا ت حتى يؤ من ولامه مؤ منه خير من
مشركه ولو اعجبتكم
ولا تنكحوا المشركين حتى يؤ منوا ولعبد مؤ من
خير من مشركه ولو اعجبكم
Artinya:
Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita
musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih
baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun
dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga
dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
(perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (Surat
Al-Baqarah Ayat 221)
Sedang pada kasus ke-2. Seorang
laki-laki muslim dilarang menikah dengan wanita non-muslim kecuali wanita ahli
kitab, seperti yang disebutkan dalam surat Al-Maidah ayat 5:
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang
baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal
bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini)
wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan
wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al
Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud
menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya
gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima
hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk
orang-orang merugi. (Al-Maaidah Ayat 5)
Pada surat Al-Baqarah ayat 221
terang di jelaskan bahwa :
Baik laki-laki ataupun perempuan memiliki
larangan untuk menikahi atau dinikahkan oleh seorang musyrik.. dan dalam surat
Al-Maidah di jelaskan kembali bagi seorang laki-laki ,boleh menikahi AHLI
KITAB. Namun terdapat beberapa pendapat bahwa ahli kitab di sini bukanlah
penganut injil,ataupun taurat yang ada pada saat ini. Ahli kitab yang
dimaksudkan disini ialah mereka yang bersyahadat Mengakui adanya ALLAH
akan tetapi tidak mengakui adanya Muhamad.
2.2
KEDUDUKAN
ANAK MAUPUN ORANG TUA SAAT ANAK AKAN MENIKAH
Bagi anak laki-laki, saat dia menikah,
berarti dia mengambil alih seluruh tanggung jawab orangtua si perempuan yang
akan dinikahinya.
bagi anak perempuan, saat dia menikah, berarti dia menyerahkan dirinya sebagai orang yang siap dipimpin oleh lelaki yang akan menjadi suaminya. pada keduanya, ada pesan tersirat. sang laki-laki, harus memantaskan diri, memiliki kecakapan untuk menjadi seorang yang siap memimpin dan bertanggungjawab di hadapan Khaliknya. sementara sang perempuan, harus berhitung kepada siapa dia akan menyerahkan dirinya untuk dipimpin.
karena setelah menikah, anak lelaki adalah tetap anak dari kedua orangtuanya. orangtua si anak lelaki berhak atas anaknya. bagi anak lelaki yang telah menikah, saat orangtuanya membutuhkan bantuan maka yang pertama kali harus dibantu adalah ibunya, setelah itu bapaknya, dan setelah itu baru anak dan istrinya.
sementara bagi anak perempuan, setelah menikah, ia sepenuhnya menjadi hak suaminya. orangtua si anak perempuan tidak lagi berhak atas anaknya. karenanya bagi anak perempuan saat orangtuanya membutuhkan bantuannya, dia tak wajib menaati orangtuanya. dia punya tanggungjawab menjaga harta dan kehormatan suaminya. dia harus terlebih dahulu meminta ijin suaminya. jika ini dilakukan, tak hanya sang istri yang mendapat pahala kebaikan dari suaminya, tapi juga orangtua sang istri mendapat kebaikan karena tidak mengambil sesuatu yang bukan lagi haknya (yakni anak perempuannya).
istri yang baik adalah istri yang memuliakan suaminya, di atas yang lainnya. dan suami yang baik adalah suami yang memuliakan ibu kandungnya, di atas yang lainnya.
bagi anak perempuan, saat dia menikah, berarti dia menyerahkan dirinya sebagai orang yang siap dipimpin oleh lelaki yang akan menjadi suaminya. pada keduanya, ada pesan tersirat. sang laki-laki, harus memantaskan diri, memiliki kecakapan untuk menjadi seorang yang siap memimpin dan bertanggungjawab di hadapan Khaliknya. sementara sang perempuan, harus berhitung kepada siapa dia akan menyerahkan dirinya untuk dipimpin.
karena setelah menikah, anak lelaki adalah tetap anak dari kedua orangtuanya. orangtua si anak lelaki berhak atas anaknya. bagi anak lelaki yang telah menikah, saat orangtuanya membutuhkan bantuan maka yang pertama kali harus dibantu adalah ibunya, setelah itu bapaknya, dan setelah itu baru anak dan istrinya.
sementara bagi anak perempuan, setelah menikah, ia sepenuhnya menjadi hak suaminya. orangtua si anak perempuan tidak lagi berhak atas anaknya. karenanya bagi anak perempuan saat orangtuanya membutuhkan bantuannya, dia tak wajib menaati orangtuanya. dia punya tanggungjawab menjaga harta dan kehormatan suaminya. dia harus terlebih dahulu meminta ijin suaminya. jika ini dilakukan, tak hanya sang istri yang mendapat pahala kebaikan dari suaminya, tapi juga orangtua sang istri mendapat kebaikan karena tidak mengambil sesuatu yang bukan lagi haknya (yakni anak perempuannya).
istri yang baik adalah istri yang memuliakan suaminya, di atas yang lainnya. dan suami yang baik adalah suami yang memuliakan ibu kandungnya, di atas yang lainnya.
Apabila seorang wanita menjaga
shalat lima waktu, berpuasa pada bulannya, menjaga kehormatannya dan mentaati
suaminya niscaya dia akan masuk surga DARI PINTU MANA SAJA yang dia inginkan.
(HR. Ahmad dan Ibnu Hibban)
ketaatan kepada orangtua bagi seorang istri, tidak boleh berada di atas ketaatannya kepada suami. kunci surga bagi seorang perempuan menikah, tak lagi ada pada orangtuanya, tapi sudah berpindah kepada suaminya.
Rasulullah saw dalam hadis yang diriwayatkan Saidatina Aisyah: aku pernah bertanya kepada Baginda, siapakah orang yang paling berhak atas seorang istri? baginda menjawab: orang yang paling berhak kepada istri ialah suaminya. kemudian aku bertanya lagi, dan siapakah orang yang paling berhak atas seorang suami? baginda menjawab: orang yang paling berhak atas seorang suami ialah ibu kandungnya. (Hadis riwayat Bazar dan al-Hakim)
syurga seorang anak lelaki adalah di bawah tapak kaki ibu, tetapi syurga bagi seorang istri ialah di bawah tapak kaki suaminya.
bahkan Rasulullah saw pernah bersabda sekiranya aku dibenarkan untuk memerintahkan seseorang bersujud kepada orang lain, niscaya aku perintahkan seorang istri bersujud kepada suaminya. (hadis riwayat Tirmidzi dan Ibnu Hibban)
ketaatan kepada orangtua bagi seorang istri, tidak boleh berada di atas ketaatannya kepada suami. kunci surga bagi seorang perempuan menikah, tak lagi ada pada orangtuanya, tapi sudah berpindah kepada suaminya.
Rasulullah saw dalam hadis yang diriwayatkan Saidatina Aisyah: aku pernah bertanya kepada Baginda, siapakah orang yang paling berhak atas seorang istri? baginda menjawab: orang yang paling berhak kepada istri ialah suaminya. kemudian aku bertanya lagi, dan siapakah orang yang paling berhak atas seorang suami? baginda menjawab: orang yang paling berhak atas seorang suami ialah ibu kandungnya. (Hadis riwayat Bazar dan al-Hakim)
syurga seorang anak lelaki adalah di bawah tapak kaki ibu, tetapi syurga bagi seorang istri ialah di bawah tapak kaki suaminya.
bahkan Rasulullah saw pernah bersabda sekiranya aku dibenarkan untuk memerintahkan seseorang bersujud kepada orang lain, niscaya aku perintahkan seorang istri bersujud kepada suaminya. (hadis riwayat Tirmidzi dan Ibnu Hibban)
Imam Ahmad dan al-Hakim meriwayatkan
dari al-Husain bin Mihshan bahwa bibinya datang kepada Nabi saw untuk suatu
keperluan. setelah dia selesai dari keperluannya, Nabi saw bertanya kepada bibi
al-Husain, apakah kamu bersuami? dia menjawab, ya. Rasulullah bertanya,
bagaimana dirimu terhadapnya? dia menjawab, saya tidak melalaikannya kecuali
jika saya tidak mampu. maka Rasulullah saw bersabda,
lihatlah dirimu daripadanya, karena dia adalah surga dan nerakamu.
lihatlah dirimu daripadanya, karena dia adalah surga dan nerakamu.
maka, jangan tanya orang tentang baik buruknya
seorang muslimah, tapi tanyakan kepada suami mereka masing-masing, bagaimana
sikapnya terhadap suami mereka. Allahu alam.
2.3
PEMBAGIAN
HARTA GONOGINI PADA PERCERAIAN ORANG TUA
A.
Pengertian Perceraian
Perceraian disebut juga talak atau
furqah, talak memiliki arti membuka ikatan membatalkan perjanjian, sedangkan
furkah artinya bercerai.
Kedua kata itu dipakai oleh para ahli sebagai satu istilah yang berarti
bercerainya suami dengan istri, menurut Hukum Islam, talak dapat berarti:
a.
Menghilangkan
ikatan perkawinan atau mengurangi keterikatanny dengan mengunanya dengan mengunakan ucapan
tertentu.
b.
Melepaskan ikatan perkawinan dan mengakhiri
hubungan suami istri
c.
Melepaskan
ikatan perkawinan dengan ucapan talak atau yang sepadan dengan itu.
Pelaksanaan perceraian harus
berdasarkan pada satu alasan yang
kuat, karena ini adalah jalan
terakhir yang ditempuh oleh suami atau istri jika sudah tidak ada lagi jalan
yang bisa ditempuh untuk berdamai dan mengembalikan keutuhan rumah tangga.
Dalam Pasal 38 Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
menyebutkan perkawinan dapat putus
karena :
a. Kematian;
b. perceraian dan;
c. atas keputusan Pengadilan.
B.
Pengertian Harta Gonogini
Harta gono-gini adalah harta milik bersama dari suami
dan istri yang mereka peroleh selama perkawinan. Demikianlah pengertian harta
gono-gini yang sesuai dengan pasal 35 UU Perkawinan di Indonesia, harta
gono-gini adalah harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.”
Hal ini karena harta dalam sebuah keluarga mempunyai tiga kemungkinan:
Pertama, harta miliki suami saja. Yaitu harta yang dimiliki oleh suami tanpa ada sedikit pun kepemilikan istri pada harta itu. Misalnya harta suami sebelum menikah, atau harta yang diperoleh dari hasil kerja suami dan tidak diberikan sebagai nafkah kepada istrinya, atau harta yang dihibahkan orang lain kepada suami secara khusus, atau harta yang diwariskan kepada suami, dan sebagainya.
Pertama, harta miliki suami saja. Yaitu harta yang dimiliki oleh suami tanpa ada sedikit pun kepemilikan istri pada harta itu. Misalnya harta suami sebelum menikah, atau harta yang diperoleh dari hasil kerja suami dan tidak diberikan sebagai nafkah kepada istrinya, atau harta yang dihibahkan orang lain kepada suami secara khusus, atau harta yang diwariskan kepada suami, dan sebagainya.
Kedua, harta milik istri saja.
Yaitu harta yang dimiliki oleh istri saja tanpa ada sedikit pun kepemilikan
suami pada harta itu. Misalnya harta milik istri sebelum menikah, atau harta
hasil kerja yang diperoleh dari istri tanpa harus mengganggu kewajibannya
sebagai istri, atau harta yang dihibahkan orang lain khusus untuknya, atau
harta yang diwariskan kepada istri, dan lain-lain.
Ketiga,
harta milik bersama. Misalnya harta yang dihibahkan seseorang kepada suami
istri, atau harta benda semisal rumah, tanah, atau lainnya yang dibeli dari
uang mereka berdua, atau harta yang mereka peroleh setelah menikah dan suami
serta istri sama-sama kerja yang menghasilkan pendapatan dan sebagainya. Yang
ketiga inilah yang kemudian diistilahkan dengan harta gono-gini.
Namun
harta yang diperoleh sebuah keluarga tidak mesti secara langsung otomatis
menjadi harta gono-gini. Perinciannya sebagai berikut:
Secara umum
suamilah yang bekerja dan bertanggung jawab atas nafkah dan ekonomi keluarga.
Ini banyak disebutkan oleh Allah dan Rasul-Nya. (di antaranya dalam QS. Ath
Thalaq: 7) Dari Aisyah, sesungguhnya Hindun binti Utbah berkata: “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan seorang yang sangat pelit. Dia tidak
memberi harta yang cukup untukku dan anakku, kecuali apa yang saya ambil
sendiri tanpa sepengetahuannya.” Maka Rasulullah bersabda, “Ambillah yang
cukup bagimu dan anakmu dengan cara yang ma’ruf.” (HR. Bukhari no.5364 dan
Muslim no.1714). Dari Hakim bin Mu’awiyah dari bapaknya berkata: Saya bertanya,
“Ya Rasulullah apakah hak istri kami?” Beliau bersabda, “Engkau memberinya
makan jika kamu makan, engkau memberinya pakaian jika kamu berpakaian.” (HR.
Ahmad, Abu Dawud, dan lainnya. Al-Irwa’: 2033)
Adapun istri, maka aktivitasnya ada dua
kemungkinan:
Pertama, sama sekali tidak
mempunyai aktivitas yang bernilai ekonomis. Jika demikian, maka harta dalam
keluarga tersebut adalah harta suami, dan tidak ada harta gono-gini. Karena
memang tidak ada andil istri dalam harta tersebut.
Kedua, jika istir memiliki
aktivitas yang bernilai ekonomis. Seperti dia bekerja sendiri, atau membantu
suami dalam pekerjaanya, atau menjadi partner kerja bagi suami, atau yang
semisalnya, maka dalam kondisiinilah harta dalam sebuah keluarga tersebut ada
yang disebut harta gono-gini.
Namun satu masalah harus
dipahami, bahwa harta suami tidak utuh, tapi berkurang dengan beberapa
kewajibannya sebagai suami. Seperti memberi mahar istrinya, menunaikan
kewajiban nafkah pada istri dan anaknya, yang meliputi sandang, pangan, papan,
kesehatan, pendidikan anak-anak dan lainnya. Sedangkan harta istri tetap utuh,
karena tidak ada kewajiban baginya untuk memberikan nafkah kepada suami dan
anak-anaknya. Kecuali apabila dengan keridhaan dirinya, dia memberikan untuk
suami dan anak-anaknya. Dan itu menjadi sedekah baginya.
C.
Pembagian
Harta Gonogini Untuk Anak
Berdasarkan uraian di atas apabila maka istri
mempunyai hak atau berhak atas harta yang diperoleh selama perkawinan
berlangsung tanpa melihat alasan-alasan yang diajukan dan harta tersebut
disebut harta bersama.
Mengenai hibah terhadap anak dapat saja dilakukan
tetapi tanpa penghibahanpun seorang anak secara otomatis sudah menjadi ahli
waris dari kedua orang tuanya.
Hibah dapat dilakukan jika tidak merugikan apa
yang menjadi hak dari ahli waris, disamping itu istri juga berhak atas harta warisan tersebut.
2.4
KEDUDUKAN
HARTA WARISAN BAGI ANAK
Penganut Katholik yang menikahi
seorang muslimah ketika ditanyakan apakah ia tidak risau dengan kemungkinan
rumitnya masalah waris untuk anak-anak mereka kelak. Meskipun kelak
anak-anaknya mengikuti agama sang ibu, bukan berarti otomatis harta waris mereka
dibagi menurut Islam. Pria yang aktivis LSM itu yakin semua anaknya akan
mendapat bagian yang sama.
Dalam pandangan Kristen, kata Pdp
Hanan Soeharto dari Pusat Pelayanan Bantuan Hukum Gereja Bethel Indonesia,
perbedaan agama tidak menghalangi hak waris. Jika sang anak belum dewasa maka
ia mengikuti agama orang tuanya. Kalau anaknya Kristen, maka dia akan mengikuti
hukum perdata yang berlaku. Anak tetap berhak mendapatkan warisan, kata Hanan
kepada hukumonline pekan lalu.
Tetapi, bagi Guru Besar Universitas Indonesia Prof.
H.M Tahir Azhary, perbedaan agama seharusnya menghalangi seseorang untuk
mendapatkan hak waris. Paling tidak, begitulah prinsip hukum Islam. Ada Sunnah
Rasul, tidak mewaris orang beriman dari orang yang tidak beriman, demikian
sebaliknya, kata pakar hukum Islam ini.
Meskipun
demikian, lanjut Tahir, orang tua yang masih hidup bisa memberikan hibah karena
pemberian bisa dilakukan kepada siapa saja, baik kepada muslim maupun non
muslim. Hibah ini, jelas Tahir, bukan sebagai ahli waris karena sebagai ahli
waris sudah tertutup kemungkinan.
Ahli waris kan berarti orang tuanya
sudah meninggal; meninggalkan harta yang dibagikan pada ahli waris. Memang ada
batasan, kalau hibah tidak boleh melampaui maksimal 1/3 dari jumlah harta yang
ada, kata Tahir.Putusan MA
Mengenai
putusan MA yang memberikan waris pada ahli waris non Islam, Tahir mengaku
pernah mendengarnya dari mahasiswa yang melalukan tesis tentang hal ini.
Menurut ia, pemberian waris beda agama itu merupakan pertimbangan MA sendiri.
Namun dalam pandangan Tahir, jika dikembalikan pada dasar hukum yang semula,
maka itu bertentangan dengan sunnah dan juga dilarang dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI)
Ada putusan seperti itu, mungkin MA
punya pertimbangan khusus. Tapi menurut saya pertimbangan itu lemah. Pasal 171
KHI itu sangat jelas. Ahli waris harus beragama Islam, kata Tahir.
Ketua Muda Urusan Lingkungan
Pengadilan Agama MA Andi Syamsu Alam menyatakan bahwa MA kini menerapkan hukum
Islam kontemporer. Yaitu apabila orangtua beragama berbeda dengan anak maka dianggap
meninggalkan wasiat yang disebut sebagai wasiat wajibah.
Kita bertolak dari KHI bahwa ada
istilah wasiat wajibah. Kita tetapkan seperti itu dan itu sudah menjadi
yurisprudensi. Secara eksplisit tidak tertulis dalam KHI. Hanya lembaga wasiat
wajibah dipinjam untuk itu. Yang memutuskan ini pertama kali pengadilan tinggi
agama jakarta. Ini sudah menjadi preseden, dikutip di seluruh Indonesia, kata
Andi.
Menurut Andi, besaran wasiat wajibah
tidak lebih dari 1/3 bagian. Sebelumnya, bagi orangtua dan anak yang berbeda
agama tidak diperbolehkan memberi atau menerima waris.
BAB III
Penutup
3.1
KESIMPULAN
Dari uraian
tersebut diatas, dengan ini penulis kemukakan beberapa halsebagai kesimpulan, sebagai berikut :
1.
Undang-Undang
No.1/1974 tentang Ketentuan Pokok Perkawinan, tidak mengatur tentang perkawinan
beda agama. Oleh karena itu perkawinanantar agama tidak dapat dilakukan
berdasarkan pada pasal 2 ayat 1 UUNo.1/1974,
bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menuruthukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Dan pada pasal10 PP No.9/1975
dinyatakan bahwa, perkawinan baru sah jika dilakukandihadapan pegawai pencatat
dan dihadiri dua orang saksi. Dan tata caraperkawinan
dilakukan menurut hukum masing-masing Agamanya dan kepercayaannya.
2.
Dalam mengisi kekosongan hukum karena dalam UU No. 1/1974 tidaksecara tegas
mengatur tentang perkawinan antar agama, MahkamahAgung dalam yurisprudensinya
tanggal 20 Januari 1989 Nomor: 1400K/Pdt/1986, memberikan solusi hukum bagi
perkawinan antar agamaadalah bahwa
perkawinan antar agama dapat diterima permohonannyadi Kantor Catatan Sipil sebagai satu-satunya instansi yang berwenanguntuk
melangsungkan permohonan yang kedua calon suami isteri tidakberagama Islam untuk wajib menerima permohonan
perkawinan antar agama.
3.2
SARAN
Bahwa dengan ketidak tegasan pemerintah dalam mengatur perkawinan beda agama sebagaimana tidak adanya aturan tersebut pada UUNo.1/1974, maka bersama ini kami sarankan bahwa :
1.
Perlu
rumusan ulang atau revisi tentang perkawinan antar agama, karenadalam UU No. 1/1974 Tentang Hukum Perkawinan
belum jelas dan tuntasdalam mengatur perkawinan antar agama.b.Dalam revisi
terhadap Undang-undang Perkawinan perlu kejelasantentang status hukum bagi
mereka yang ingin melakukan perkawinanantar agama
2.
Diharapkan pemerintah, praktisi dan
akademisi hukum dapat memberikan kontribusi pembinaan terhadap masyarakat
daerah setempat Mengenai Hukum Adat dan Hukum Waris Adat sehingga tidak terjadi
penyimpangan pelaksanaan antar suatu daerah pada daerah lainnya yang akan
menimbulkan masalah. Serta penyelesaian sengketanya sebagai bentuk unifikasi
dari Hukum Waris itu sendiri.
DAFTAR
PUSTAKA
-
Artikel www.KonsultasiSyariah.com
-
http:// Kilinik Hukumonline
-
Diambil dari tugas kelompok mata pelajaran Agama Islam
SMA Negeri 8 Malang tahun 2005, anggota kelompok : Muhamad Yoesuf, Didin
Erawati, Nuria Mauludiah, Firmansyah, Wahyu Tri Admadja
#Semoga Bermanfaat :-)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar