Kamis, 07 November 2013

PAPER DAMPAK PERKAWINAN BEDA AGAMA BAGI PERKEMBANGAN MENTAL ANAK



BAB I
PENDAHULUAN

1.1              Latar Belakang
Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sangat dalam dan kuatsebagai penghubung antara seorang pria dengan seorang wanita dalammembentuk suatu keluarga atau rumah tangga. Dalam  membentuk suatu keluarga tentunya memerlukan suatu komitmen yang kuat diantara pasangan tersebut. Sehingga dalam hal ini Undang-undang Perkawinan No.1 tahun 1974 pada pasal 2 ayat 1menyatakan bahwa suatu perkawinan dapat dinyatakan sah, apabiladilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaanpasangan yang melakukan pernikahan.Landasan hukum agama dalam melaksanakan sebuah perkawinanmerupakan hal yang sangat penting dalam UU No. 1 Tahun 1974, sehinggapenentuan boleh tidaknya perkawinan tergantung pada ketentuan agama.Hal ini berarti juga bahwa hukum agama menyatakan perkawinan tidak boleh,maka tidak boleh pula menurut hukum negara. Jadi dalam perkawinanberbeda agama yang menjadi boleh tidaknya tergantung pada ketentuanagama.Perkawinan beda agama bagi masing-masing pihak menyangkutakidah dan hukum yang sangat penting bagi seseorang. Hal ini berartimenyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukumagamanya masing-masing.

1.2       Rumusan Masalah
1.    Apakah pengertian perkawinan beda agama ?
2.    UU yang mengatur tentang perkawinan .
3.    Bagaimana kedudukan anak dalam keluarga menurut UU ?
4.    Bagaima hukum perkawanina beda agama dalam al-qur’an ?
5.    Apa dampak perkawinan beda agama bagi anak ?
6.    Kedudukan anak maupun orang tua pada saat anak akan menikah
7.    Pembagian harta gonogini pada perceraian orang tua.
8.    Kedudukan harta warisan bagi anak .

1.3       Tujuan Penulisan
1.    Mengetahui pengertian perkawinan beda agama.
2.    Mengetahui tentang UU perkawinan.
3.    Mengetahui kedudukan anak dalam keluarga menurut UU.
4.    Mengetahui hukum islam dalam perkawinan beda agama.
5.    Dapat mengetahui dampak perkawinan beda agama bagi anak.
6.    Mengetahui kedudukan anak maupun orang tua pada saat anak akan menikah.
7.  Mengetahui pembagian harta gonogini pada perceraian orang tua.
8.    Mengetahui kedudukan harta warisan bagi anak.
BAB II

Pembahasan

Dampak Perkawinan Beda Agama Bagi Perkembangan Mental Anak


2.1         LANDASAN YURIDIS

A.           Pengetian Perkawinan Beda Agama

Pernikahan antara dua individu yang memeluk agama berbeda disebut dengan interfaith marriage, mixed marriage, mixed faith marriage , atau interreligious marriage.
(Robinson, 2005). Dalam bahasa Indonesia, peneliti akan menggunakan istilah pernikahan beda agama.

Menurut Mandra & Artadi (dalam Eoh,1996), pernikahan beda agama adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita, yang masing-masing berbeda agamanya dan mempertahankan perbedaannya itu sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.
Menurut beberapa ahli, masalah - masalah yang muncul akibat dari perbedaan agama dengan pasangan dalam pernikahan beda agama antara lain, yaitu (dalam Paramitha, 2002): Latar belakang agama, hubungan dengan keluarga, pelaksanaan ibadah, seksualitas, kehidupan sehari - hari, menghadapi masalah sulit, dan anak.

Menurut pasal 1 UU No. 1/1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorangwanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumahtangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan di dalam ketentuan pasal-pasal KUHPerdata, tidakmemberikan pengertian perkawinan itu. Oleh karena itu untuk memahami artiperkawinan dapat dilihat pada ilmu pengetahuan atau pendapat para sarjana.Ali Afandi mengatakan bahwa “perkawinan adalah suatu persetujuankekeluargaan”.


Dan menurut Scholten perkawinan adalah ”hubungan hukumantara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengankekal, yang diakui oleh negara”.

 JadiKitabUndang-undangHukum Perdata memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata.

Hal ini berarti bahwaundang-undang hanya mengakui perkawinan perdata sebagai perkawinanyang sah, berarti perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan


B.            UU Tentang Perkawinan

Di Indonesia tidak ada undang – undang yang mengatur tentang perkawinan beda agama. Namun yang diatur dalam undang – undang yaitu tentang perkawinan.
Dengan diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1974 berarti undang-undang ini merupakan Undang-undang Perkawinan Nasional karena menampung prinsip-prinsip perkawinan yang sudah ada sebelumnya dan diberlakukanbagi seluruh warga negara Indonesia. .Dalam pasal 66 UU No 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang diatur dalamKUHP perdata, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturanperkawinan campuran, dinyatakan tidak berlaku sepanjang telah diatur dalamUndang-Undang Perkawinan Nasional ini. Dengan demikian dasar hukum perkawinan di Indonesia yang berlaku sekarang ini antara lain adalah :a.Buku I KUH Perdatab.UU No. 1/1974 tentang Perkawinanc.UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama. PP No. 9/1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 1/1974.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 1974
TENTANG
PERKAWINAN
Menimbang :
bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional, perlu adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara.
Mengingat :
1.      Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945;
2.      Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973.
Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
MEMUTUSKAN :
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERKAWINAN.
BAB I
DASAR PERKAWINAN

Pasal 1
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.
Pasal 2
(1). Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 3
(1) Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
(2) Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan.
Pasal 4
(1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
(2) Pengadilan dimaksud data ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
  1. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
  2. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
  3. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 5
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
  1. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
  2. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
  3. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
(2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.
Pasal 6
(1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
(3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
(4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
(5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Pasal 7
(1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
(2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
(3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).

C.           Kedudukan Anak Dalam Keluarga Menurut UUD
Kedudukan hukum anak yang lahir dari pasangan pernikahan beda agama ini, kita merujuk pada ketentuan Pasal 42 UUP yang menyebutkan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Jadi, anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah yang dilakukan baik di Kantor Urusan Agama (untuk pasangan yang beragama Islam) maupun Kantor Catatan Sipil (untuk pasangan yang beragama selain Islam), maka kedudukan anak tersebut adalah anak yang sah di mata hukum dan memiliki hak dan kewajiban anak dan orang tua seperti tertuang dalam Pasal 45 s.d. Pasal 49 UUP.
Selain itu, orang tua yang berbeda agama juga perlu memperhatikan ketentuan Pasal 42 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UUPA”) yang berbunyi:
(1) Setiap anak mendapat perlindungan untuk beribadah menurut agamanya.
(2) Sebelum anak dapat menentukan pilihannya, agama yang dipeluk anak mengikuti agama orang tuanya.

Di dalam penjelasan Pasal 42 ayat (2) UUPA diterangkan bahwa anak dapat menentukan agama pilihannya apabila anak tersebut telah berakal dan bertanggung jawab, serta memenuhi syarat dan tata cara sesuai dengan ketentuan agama yang dipilihnya, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Fatwa MUI melarang perkawinan beda agama. Pada prinsipnya, bukan hanya agama Islam. Semua agama tidak memperbolehkan perkawinan beda agama. Umatnya saja yang mencari-cari peluang. Perkawinannya dianggap tidak sah, dianggap tidak ada perkwianan, tidak ada waris, anaknya juga ikut hubungan hukum dengan ibunya. Meskipun UU tidak memperbolehkan kawin beda agama, tetapi Kantor Catatan Sipil bisa menerima pencatatan perkawinan beda agama yang dilakukan di luar negeri. Pemerintah tdak tegas, seharusnya yang dicatat KCS adalah sesuai dengan hukum Indonesia. 
Harapan akan lahirnya keluarga sakinah akan sulit dicapai pasangan suami-istri yang berbeda agama, bagaimana mendidik anak-anak mereka. Seorang anak akan kebingungan untuk mengikuti ayahnya atau ibunya. Perkawinan baru akan langgeng dan tenteram jika terdapat kesesuaian pandangan hidup antar suami dan istri, karena jangankan perbedaan agama, perbedaan budaya, atau bahkan perbedaan tingkat pendidikan antara suami dan istri pun tidak jarang mengakibatkan kegagalan perkawinan.
Status Anak Luar Nikah

Mengenai status anak luar nikah, para ulama sepakat bahwa anak itu tetap punya hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Tanggung jawab atas segala keperluannya, baik materiil maupun spirituil adalah ibunya dan keluarga ibunya. Demikian pulanya dengan hak waris-mewaris.

Anak yang dibuahi dan dilahirkan diluar pernikahan yang sah atau nikah fasad, disamakan statusnya dengan anak zina dan anak li‟an. Oleh karena itu tidak ada hubungan nasab dengan bapaknya. Anak itu hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya. Bapaknya tidak wajib memebrikan nafkah kepada anak itu, namun secara biologis ia tetap anaknya. Tidak ada saling mewaris dengan bapaknya, karena hubungan nasab merupakan salah satu penyebab kerwarisan. Dan bapak tidak dapat menjadi wali bagi anak diluar nikah.

Hubungan yang timbul hanyalah secara manusiawi, bukan secara hukum. Meskipun demikian apabila anak diluar nikah itu seorang perempuan dan sudah dewasa lalu akan menikah, maka ia tidak berhak dinikahkan oleh bapak biologisnya.

Menurut hukum Perkawinan Nasional Indonesia, status anak dibedakan menjadi dua: pertama, anak sah. kedua, anak luar nikah. Anak sah sebagaimana yang dinyatakan UU No. Tahun 1974 pasal 42 adalah dalam anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.

Yang dimaksud dengan anak luar nikah adalah anak yang dibuahi dan dilahirkan di luar pernikahan yang sah, sebagaimana yang dsebutkan dalam peraturan perundang-undangan Nasional UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 43 ayat 1, menyatakan anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

 Bila dicermati dari peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia tentang Hukum Perkawinan, menyatakan bahwa status nasab anak di luar nikah hanya mempunyai hubungan keperdataan kepada ibunya dan keluarga ibunya. Implementasinya adalah bahwa anak di luar nikah hanya memiliki hubungan yang menimbulkan adanya hak dan kewajiban dengan ibu dan kelaurga ibunya. Mafhum mukhalafahnya adalah anak itu tidak mempunyai hubungan keperdataan dengan bapak biologisnya dalam nasab, hak dan kewajiban baik dalam bentuk nafkah, waris dan lain sebagainya. Hampir tidak ada perbedaan antara hukuk Islam dengan hukum perkawinan Nasional dalam menetapkan nasab anak di luar nikah, walaupun tidak menyatakan secara tegas.

Baru-baru ini UU No 1 th 1974 pasal 43 ayat (1) dijudicial review oleh Macicha Mokhtar, sehingga keluarlah putusan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 17 Pebruari 2012 menjadi: Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan pedata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan ayahnya.

Yang dimaksud anak di luar nikah disini adalah anak yang lahir melalui pernikahan tetapi belum diakui negara karena tidak dicatatkan, seperti nikah siri. Memang secara hukum, tidak ada istilah anak hasil hubungan zina, yang ada hanya anak di luar nikah. Tetapi anak hasil zina disini adalah anak tanpa nikah sehingga tidak tergolong anak luar nikah seperti yang dimaksudkan putusan MK tersebut.

Argumentasi yang melandasi keputusan ini antara lain bahwa setiap anak adalah tetap anak dari kedua orang tuanya, terlepas apakah dia lahir dalam perkawinan yang sah atau di luar itu dan bahwasanya dia berhak memperoleh layanan dan tanggung jawab yang sama dalam perwalian, pemeliharaan, pengawasan dan pengangkatan anak tanpa diskriminasi. Hal ini sesuai dengan UU N0 12 tahun 2006 tentang Kewargannegaraan yang menyangkut hak asasi manusia (HAM).


D.                Hukum Perkawinan Beda Agama Dalam Al-Qur’an
Pernikahan merupakan salah satu jenis ibadah dalam Islam. Setiap manusia yang telah dewasa, dan sehat jasmani rohani pasti membutuhkan teman hidup. Teman hidup yang dapat memenuhi  kebutuhan biologisnya, yang dapat mencintai dan dicintai, yang dapat mengasihi dan dikasihi, serta yang diajak bekerja sama demi mewujudkan ketentraman, kedamaian dan kesejahteraan dalam hidup berumah tangga.
Menurut bahasa, nikah berarti berkumpul atau bersatu. Menurut istilah, nikah adalah melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan serta menghalalkan hubungan tubuh antara keduanya atas dasar sukarela dan persetujuan bersama demi mewujudkan keluarga bahagia yang diridhai oleh Allah SWT.
Masalah pernikahan berbeda keyakinan ini sebenarnya terbagi dalam 2 kasus keadaan, antara lain:
Kasus 1:   Pernikahan antara laki-laki non-muslim dengan wanita muslim
Kasus 2:   Pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita non-muslim
Pada kasus 1, kedua pihak ulama sepakat untuk mengharamkan pernikahan yang terjadi pada keadaan seperti itu. Seorang wanita muslim haram hukumnya dan pernikahannya tidak sah bila menikah dengan laki-laki non-muslim. Al-Quran menjelaskan Dalam surat Al-Baqarah ayat 221:

ولا تنكحوا المشركا ت حتى يؤ من  ولامه مؤ منه  خير  من مشركه  ولو اعجبتكم
ولا تنكحوا  المشركين  حتى يؤ منوا  ولعبد  مؤ من خير من مشركه  ولو اعجبكم
Artinya:
Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (Surat Al-Baqarah Ayat 221)
 Sedang pada kasus ke-2. Seorang laki-laki muslim dilarang menikah dengan wanita non-muslim kecuali wanita ahli kitab, seperti yang disebutkan dalam surat Al-Maidah ayat 5:
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi. (Al-Maaidah Ayat 5)
 Pada surat Al-Baqarah ayat 221 terang di jelaskan bahwa :
Baik laki-laki ataupun perempuan memiliki larangan untuk menikahi atau dinikahkan oleh seorang musyrik.. dan dalam surat Al-Maidah di jelaskan kembali bagi  seorang laki-laki ,boleh menikahi AHLI KITAB. Namun terdapat beberapa pendapat bahwa ahli kitab di sini bukanlah  penganut injil,ataupun taurat yang ada pada saat ini. Ahli kitab yang dimaksudkan disini ialah mereka yang bersyahadat Mengakui adanya ALLAH  akan tetapi tidak mengakui adanya Muhamad.

2.2         KEDUDUKAN ANAK MAUPUN ORANG TUA SAAT ANAK AKAN MENIKAH
Bagi anak laki-laki, saat dia menikah, berarti dia mengambil alih seluruh tanggung jawab orangtua si perempuan yang akan dinikahinya.
bagi anak perempuan, saat dia menikah, berarti dia menyerahkan dirinya sebagai orang yang siap dipimpin oleh lelaki yang akan menjadi suaminya. pada keduanya, ada pesan tersirat. sang laki-laki, harus memantaskan diri, memiliki kecakapan untuk menjadi seorang yang siap memimpin dan bertanggungjawab di hadapan Khaliknya. sementara sang perempuan, harus berhitung kepada siapa dia akan menyerahkan dirinya untuk dipimpin.
karena setelah menikah, anak lelaki adalah tetap anak dari kedua orangtuanya. orangtua si anak lelaki berhak atas anaknya. bagi anak lelaki yang telah menikah, saat orangtuanya membutuhkan bantuan maka yang pertama kali harus dibantu adalah ibunya, setelah itu bapaknya, dan setelah itu baru anak dan istrinya.
sementara bagi anak perempuan, setelah menikah, ia sepenuhnya menjadi hak suaminya. orangtua si anak perempuan tidak lagi berhak atas anaknya. karenanya bagi anak perempuan saat orangtuanya membutuhkan bantuannya, dia tak wajib menaati orangtuanya. dia punya tanggungjawab menjaga harta dan kehormatan suaminya. dia harus terlebih dahulu meminta ijin suaminya. jika ini dilakukan, tak hanya sang istri yang mendapat pahala kebaikan dari suaminya, tapi juga orangtua sang istri mendapat kebaikan karena tidak mengambil sesuatu yang bukan lagi haknya (yakni anak perempuannya).
istri yang baik adalah istri yang memuliakan suaminya, di atas yang lainnya. dan suami yang baik adalah suami yang memuliakan ibu kandungnya, di atas yang lainnya.
Apabila seorang wanita menjaga shalat lima waktu, berpuasa pada bulannya, menjaga kehormatannya dan mentaati suaminya niscaya dia akan masuk surga DARI PINTU MANA SAJA yang dia inginkan. (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban)
ketaatan kepada orangtua bagi seorang istri, tidak boleh berada di atas ketaatannya kepada suami. kunci surga bagi seorang perempuan menikah, tak lagi ada pada orangtuanya, tapi sudah berpindah kepada suaminya.
Rasulullah saw dalam hadis yang diriwayatkan Saidatina Aisyah: aku pernah bertanya kepada Baginda, siapakah orang yang paling berhak atas seorang istri? baginda menjawab: orang yang paling berhak kepada istri ialah suaminya. kemudian aku bertanya lagi, dan siapakah orang yang paling berhak atas seorang suami? baginda menjawab: orang yang paling berhak atas seorang suami ialah ibu kandungnya. (Hadis riwayat Bazar dan al-Hakim)
syurga seorang anak lelaki adalah di bawah tapak kaki ibu, tetapi syurga bagi seorang istri ialah di bawah tapak kaki suaminya.
bahkan Rasulullah saw pernah bersabda sekiranya aku dibenarkan untuk memerintahkan seseorang bersujud kepada orang lain, niscaya aku perintahkan seorang istri bersujud kepada suaminya. (hadis riwayat Tirmidzi dan Ibnu Hibban)
Imam Ahmad dan al-Hakim meriwayatkan dari al-Husain bin Mihshan bahwa bibinya datang kepada Nabi saw untuk suatu keperluan. setelah dia selesai dari keperluannya, Nabi saw bertanya kepada bibi al-Husain, apakah kamu bersuami? dia menjawab, ya. Rasulullah bertanya, bagaimana dirimu terhadapnya? dia menjawab, saya tidak melalaikannya kecuali jika saya tidak mampu. maka Rasulullah saw bersabda,
lihatlah dirimu daripadanya, karena dia adalah surga dan nerakamu.
maka, jangan tanya orang tentang baik buruknya seorang muslimah, tapi tanyakan kepada suami mereka masing-masing, bagaimana sikapnya terhadap suami mereka. Allahu alam.
2.3         PEMBAGIAN HARTA GONOGINI PADA PERCERAIAN ORANG TUA

A.           Pengertian Perceraian

Perceraian disebut juga talak atau furqah, talak memiliki arti membuka ikatan membatalkan perjanjian, sedangkan furkah artinya  bercerai. Kedua kata itu dipakai oleh para ahli sebagai satu istilah yang berarti bercerainya suami dengan istri, menurut Hukum Islam, talak dapat berarti:
a.         Menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi keterikatanny  dengan mengunanya dengan mengunakan ucapan tertentu.
b.         Melepaskan ikatan perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri
c.         Melepaskan ikatan perkawinan dengan ucapan talak atau yang sepadan dengan itu.
Pelaksanaan perceraian harus berdasarkan pada satu alasan yang
kuat, karena ini adalah jalan terakhir yang ditempuh oleh suami atau istri jika sudah tidak ada lagi jalan yang bisa ditempuh untuk berdamai dan mengembalikan keutuhan rumah tangga.

Dalam Pasal 38 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
menyebutkan perkawinan dapat putus karena :
a. Kematian;
b. perceraian dan;
c. atas keputusan Pengadilan.


B.            Pengertian Harta Gonogini
Harta gono-gini adalah harta milik bersama dari suami dan istri yang mereka peroleh selama perkawinan. Demikianlah pengertian harta gono-gini yang sesuai dengan pasal 35 UU Perkawinan di Indonesia, harta gono-gini adalah harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.” Hal ini karena harta dalam sebuah keluarga mempunyai tiga kemungkinan:

Pertama, harta miliki suami saja. Yaitu harta yang dimiliki oleh suami tanpa ada sedikit pun kepemilikan istri pada harta itu. Misalnya harta suami sebelum menikah, atau harta yang diperoleh dari hasil kerja suami dan tidak diberikan sebagai nafkah kepada istrinya, atau harta yang dihibahkan orang lain kepada suami secara khusus, atau harta yang diwariskan kepada suami, dan sebagainya.
Kedua, harta milik istri saja. Yaitu harta yang dimiliki oleh istri saja tanpa ada sedikit pun kepemilikan suami pada harta itu. Misalnya harta milik istri sebelum menikah, atau harta hasil kerja yang diperoleh dari istri tanpa harus mengganggu kewajibannya sebagai istri, atau harta yang dihibahkan orang lain khusus untuknya, atau harta yang diwariskan kepada istri, dan lain-lain.
Ketiga, harta milik bersama. Misalnya harta yang dihibahkan seseorang kepada suami istri, atau harta benda semisal rumah, tanah, atau lainnya yang dibeli dari uang mereka berdua, atau harta yang mereka peroleh setelah menikah dan suami serta istri sama-sama kerja yang menghasilkan pendapatan dan sebagainya. Yang ketiga inilah yang kemudian diistilahkan dengan harta gono-gini.

Namun harta yang diperoleh sebuah keluarga tidak mesti secara langsung otomatis menjadi harta gono-gini. Perinciannya sebagai berikut:
Secara umum suamilah yang bekerja dan bertanggung jawab atas nafkah dan ekonomi keluarga. Ini banyak disebutkan oleh Allah dan Rasul-Nya. (di antaranya dalam QS. Ath Thalaq: 7) Dari Aisyah, sesungguhnya Hindun binti Utbah berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan seorang yang sangat pelit. Dia tidak memberi harta yang cukup untukku dan anakku, kecuali apa yang saya ambil sendiri tanpa sepengetahuannya.” Maka Rasulullah bersabda, “Ambillah yang cukup bagimu dan anakmu dengan cara yang ma’ruf.” (HR. Bukhari no.5364 dan Muslim no.1714). Dari Hakim bin Mu’awiyah dari bapaknya berkata: Saya bertanya, “Ya Rasulullah apakah hak istri kami?” Beliau bersabda, “Engkau memberinya makan jika kamu makan, engkau memberinya pakaian jika kamu berpakaian.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan lainnya. Al-Irwa’: 2033)




Adapun istri, maka aktivitasnya ada dua kemungkinan:
Pertama, sama sekali tidak mempunyai aktivitas yang bernilai ekonomis. Jika demikian, maka harta dalam keluarga tersebut adalah harta suami, dan tidak ada harta gono-gini. Karena memang tidak ada andil istri dalam harta tersebut.
Kedua, jika istir memiliki aktivitas yang bernilai ekonomis. Seperti dia bekerja sendiri, atau membantu suami dalam pekerjaanya, atau menjadi partner kerja bagi suami, atau yang semisalnya, maka dalam kondisiinilah harta dalam sebuah keluarga tersebut ada yang disebut harta gono-gini.
Namun satu masalah harus dipahami, bahwa harta suami tidak utuh, tapi berkurang dengan beberapa kewajibannya sebagai suami. Seperti memberi mahar istrinya, menunaikan kewajiban nafkah pada istri dan anaknya, yang meliputi sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan anak-anak dan lainnya. Sedangkan harta istri tetap utuh, karena tidak ada kewajiban baginya untuk memberikan nafkah kepada suami dan anak-anaknya. Kecuali apabila dengan keridhaan dirinya, dia memberikan untuk suami dan anak-anaknya. Dan itu menjadi sedekah baginya.
C.           Pembagian Harta Gonogini Untuk Anak
Berdasarkan uraian di atas apabila maka istri mempunyai hak atau berhak atas harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung tanpa melihat alasan-alasan yang diajukan dan harta tersebut disebut harta bersama.
Mengenai hibah terhadap anak dapat saja dilakukan tetapi tanpa penghibahanpun seorang anak secara otomatis sudah menjadi ahli waris dari kedua orang tuanya.
Hibah dapat dilakukan jika tidak merugikan apa yang menjadi hak dari ahli waris, disamping itu istri  juga berhak atas harta warisan tersebut.
2.4         KEDUDUKAN HARTA WARISAN BAGI ANAK
Penganut Katholik yang menikahi seorang muslimah ketika ditanyakan apakah ia tidak risau dengan kemungkinan rumitnya masalah waris untuk anak-anak mereka kelak. Meskipun kelak anak-anaknya mengikuti agama sang ibu, bukan berarti otomatis harta waris mereka dibagi menurut Islam. Pria yang aktivis LSM itu yakin semua anaknya akan mendapat bagian yang sama.

Dalam pandangan Kristen, kata Pdp Hanan Soeharto dari Pusat Pelayanan Bantuan Hukum Gereja Bethel Indonesia, perbedaan agama tidak menghalangi hak waris. Jika sang anak belum dewasa maka ia mengikuti agama orang tuanya. Kalau anaknya Kristen, maka dia akan mengikuti hukum perdata yang berlaku. Anak tetap berhak mendapatkan warisan, kata Hanan kepada hukumonline pekan lalu. 

Tetapi, bagi Guru Besar Universitas Indonesia Prof. H.M Tahir Azhary, perbedaan agama seharusnya menghalangi seseorang untuk mendapatkan hak waris. Paling tidak, begitulah prinsip hukum Islam. Ada Sunnah Rasul, tidak mewaris orang beriman dari orang yang tidak beriman, demikian sebaliknya, kata pakar hukum Islam ini.
Meskipun demikian, lanjut Tahir, orang tua yang masih hidup bisa memberikan hibah karena pemberian bisa dilakukan kepada siapa saja, baik kepada muslim maupun non muslim. Hibah ini, jelas Tahir, bukan sebagai ahli waris karena sebagai ahli waris sudah tertutup kemungkinan.

Ahli waris kan berarti orang tuanya sudah meninggal; meninggalkan harta yang dibagikan pada ahli waris. Memang ada batasan, kalau hibah tidak boleh melampaui maksimal 1/3 dari jumlah harta yang ada, kata Tahir.Putusan MA 
Mengenai putusan MA yang memberikan waris pada ahli waris non Islam, Tahir mengaku pernah mendengarnya dari mahasiswa yang melalukan tesis tentang hal ini. Menurut ia, pemberian waris beda agama itu merupakan pertimbangan MA sendiri. Namun dalam pandangan Tahir, jika dikembalikan pada dasar hukum yang semula, maka itu bertentangan dengan sunnah dan juga dilarang dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Ada putusan seperti itu, mungkin MA punya pertimbangan khusus. Tapi menurut saya pertimbangan itu lemah. Pasal 171 KHI itu sangat jelas. Ahli waris harus beragama Islam, kata Tahir.

Ketua Muda Urusan Lingkungan Pengadilan Agama MA Andi Syamsu Alam menyatakan bahwa MA kini menerapkan hukum Islam kontemporer. Yaitu apabila orangtua beragama berbeda dengan anak maka dianggap meninggalkan wasiat yang disebut sebagai wasiat wajibah.
Kita bertolak dari KHI bahwa ada istilah wasiat wajibah. Kita tetapkan seperti itu dan itu sudah menjadi yurisprudensi. Secara eksplisit tidak tertulis dalam KHI. Hanya lembaga wasiat wajibah dipinjam untuk itu. Yang memutuskan ini pertama kali pengadilan tinggi agama jakarta. Ini sudah menjadi preseden, dikutip di seluruh Indonesia, kata Andi. 
Menurut Andi, besaran wasiat wajibah tidak lebih dari 1/3 bagian. Sebelumnya, bagi orangtua dan anak yang berbeda agama tidak diperbolehkan memberi atau menerima waris.
                                                     










BAB III
Penutup
3.1         KESIMPULAN
Dari uraian tersebut diatas, dengan ini penulis kemukakan beberapa halsebagai kesimpulan, sebagai berikut :

1.             Undang-Undang No.1/1974 tentang Ketentuan Pokok Perkawinan, tidak mengatur tentang perkawinan beda agama. Oleh karena itu perkawinanantar agama tidak dapat dilakukan berdasarkan pada pasal 2 ayat 1 UUNo.1/1974, bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menuruthukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Dan pada pasal10 PP No.9/1975 dinyatakan bahwa, perkawinan baru sah jika dilakukandihadapan pegawai pencatat dan dihadiri dua orang saksi. Dan tata caraperkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing Agamanya dan kepercayaannya.

2.             Dalam mengisi kekosongan hukum karena dalam UU No. 1/1974 tidaksecara tegas mengatur tentang perkawinan antar agama, MahkamahAgung dalam yurisprudensinya tanggal 20 Januari 1989 Nomor: 1400K/Pdt/1986, memberikan solusi hukum bagi perkawinan antar agamaadalah bahwa perkawinan antar agama dapat diterima permohonannyadi Kantor Catatan Sipil sebagai satu-satunya instansi yang berwenanguntuk melangsungkan permohonan yang kedua calon suami isteri tidakberagama Islam untuk wajib menerima permohonan perkawinan antar agama.

3.2         SARAN

Bahwa dengan ketidak tegasan pemerintah dalam mengatur perkawinan beda agama sebagaimana tidak adanya aturan tersebut pada UUNo.1/1974, maka bersama ini kami sarankan bahwa :


1.             Perlu rumusan ulang atau revisi tentang perkawinan antar agama, karenadalam UU No. 1/1974 Tentang Hukum Perkawinan belum jelas dan tuntasdalam mengatur perkawinan antar agama.b.Dalam revisi terhadap Undang-undang Perkawinan perlu kejelasantentang status hukum bagi mereka yang ingin melakukan perkawinanantar agama

2.             Diharapkan pemerintah, praktisi dan akademisi hukum dapat memberikan kontribusi pembinaan terhadap masyarakat daerah setempat Mengenai Hukum Adat dan Hukum Waris Adat sehingga tidak terjadi penyimpangan pelaksanaan antar suatu daerah pada daerah lainnya yang akan menimbulkan masalah. Serta penyelesaian sengketanya sebagai bentuk unifikasi dari Hukum Waris itu sendiri.




DAFTAR PUSTAKA

-                 Artikel www.KonsultasiSyariah.com
-                 http:// Kilinik Hukumonline
-                 Diambil dari tugas kelompok mata pelajaran Agama Islam SMA Negeri 8 Malang tahun 2005, anggota kelompok : Muhamad Yoesuf, Didin Erawati, Nuria Mauludiah, Firmansyah, Wahyu Tri Admadja
-                 http://www.rahima.or.id










 #Semoga Bermanfaat :-)








Tidak ada komentar:

Posting Komentar